Eddy Syarif: Mengenang Hari Arafah, 20 tahun yang Lalu

    Eddy Syarif: Mengenang Hari Arafah, 20 tahun yang Lalu

    ARAFAH - Sore itu, matahari terbenam dari Ufuk Barat pertanda hari Arafah,  9 Dzulhijah telah masuk. Bersamaan, terdengar  adzan dari pengeras suara terbatas Sholat magrib pun dilakukan berjamaah di dalam tenda.

    Arafah bagaikan, perkampungan tenda di padang pasir, tenda warna putih itu dapat menampung seratus lebih jamaah. Jamaah-jamaah berbaju ihram - putih.  

    Terdapat ribuan tenda disusun per-blok tertata rapih, dibatasi  jalan beraspal, terlihat putih semua.

    Arafah  merupakan padang pasir dikelilingi bukit batu dengan luas 3, 5 Km kali 3, 5 Km  berbentuk setengah lingkaran terdapat sebuah  Masjid, Namirah namanya.

    Usai sholat makanan  dibagikan dalam bentuk kotak kardus untuk setiap jamaah, lengkap dengan buah - minuman dalam kemasan. Ada beberapa jamah beristirahat tidur berjajar satu satu diatas tikar.

    Di sudut tenda terdengar dari mulut seorang ibu melantunkan ayat-ayat suci al-Quran. Pun terlihat beberapa jamaah tak henti-hentinya berzikir berdoa, bertasbih. Suara itu terdengar jelas, pada batas antara tenda-tenda ketika kulewati.

    Aku  berjalan pelan-pelan hingga melewati tenda-tenda berbagai negara sambil terus bertasbih, membayangkan Nabi Adam ketika memohon ampunan Allah SWT, atas dosa yang telah diperbuatnya dan diturunkan ke dunia.

    Ia pun berjalan sendiri, menunduk, menyesali diri yang bersalah, lalu dengan sayup-sayup suaranya mohon ampunan kepada Allah. 
    “Rabbana Zhalamna anfusana wa in lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna minal khasirin, ” (Q.S. Al-A’raf:23).


    Arafah merupakan momentum terindah sepanjang sejarah kehidupan manusia, mengenang peristiwa itu sangat mengharukan antara kedua nenek moyang manusia. 

    Beranjak dari filosofi itu, aku berjalan menyusuri Arafah sendirian. Malam itu udara tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas, hanya angin yang berhembus menerpa ihramku. Mulutku tak henti-hentinya bertasbih. Mohon ampunan, Ibarat mengiba-iba pada sang pencipta agar mau memaafkan-ku. 

    Suaraku parau sudah,  tuk memohon, “labaik Allahumma labaik, , .…. “  terus berjalan kaki hingga tenda paling ujung. Di sana terdapat mobil-mobil pribadi, juga beberapa unit mobil ambulance  parkir disana. 

    Ku intip dari dekat ada sejumlah jamaah yang sedang sakit. Aku mengurut dada dan bersyukur, diberi kesehatan. Walau sedang sakit, Wukuf Arafah harus diikuti karena salah satu rukun haji. 

    Malam itu aku sampai di depan Masjid Namirah. Masjid ini sepi, gelap. Aku melongok, masuk.Tidak terjaga kebersihannya karena tidak dihuni pada hari-hari biasa.

    Jam tanganku sudah menunjukkan tepat jam dua belas, kalau waktu Indonesia pukul 4 pagi. Aku harus bergegas kembali ke tendaku beristirahat, menjaga stamina, persiapan melaksanakan wukuf. Wukuf Arafah. Memandang langit, Langit Arafah diterpa deru angin padang pasir, Allah begitu dekat ketika melafazkannya.

    Bandung

    Eddy Syarif

    Tukang Foto Keliling

    eddy syarif arafah haji
    Tony Rosyid

    Tony Rosyid

    Artikel Sebelumnya

    Mengenal Seni Aborigin Australia   

    Artikel Berikutnya

    Novita Wijayanti Apresiasi Progres Pembangunan...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan dan Paradoks Kebijakan
    Kemenangan NC-LM di Depan Mata, Warga Kota Solok Diminta Lawan Intimidasi dan Politik Uang
    Hendri Kampai: Negara Gagal Ketika Rakyat Ditekan dan Oligarki Diberi Hak Istimewa
    Hendri Kampai: Pemimpin Inlander Selalu Bergantung pada Asing

    Ikuti Kami